Minggu, 14 Maret 2010

Hujan dan Perempuan

Aku memandang hujan deras. Dari jendela kamar rumah flatku. Hujan ini membawaku padamu, perempuanku. Bukankah kau suka hujan? Masa kanak-kanakmu datang lagi jika hujan mengguyur bumi yang belukar. Kau keluar kamar. Bermain basah dengan air. Rambutmu yang panjang tergerai itu kau biarkan dicumbu bibir hujan. Bibir hujan bersujud di rambut lembutmu. Aku lelakimu cuma bisa memandang tubuhmu dan mendengar teriak kanakmu. Karena aku tahu bahwa seusai ini kau akan berkata, "cinta, peluk aku". begitulah kau menjaga kehangatan cinta. Kau jadikan hujan sebagai jalan menggodaku dan memasak sesakku. Mungkinkah kelahiranmu disertai dengan turunnya hujan? Pertanyaan ini masih kusimpan. Aku belum berani bertanya padamu. Dan mungkin kau sudah tahu bahwa aku jatuh cinta padamu juga karena hujan. Hujan sore itu. hujan yang melahirkan pelangi. Kilau warna-warni pelangi itu sembunyi di teduh matamu dan lesung pipitmu. Jika pun pelangi tak muncul lagi di langit ini, aku masih bisa menatapnya, menatap dan mendekap mata dan lesung pipitmu. Akhir-akhir ini pelangi sulit melahirkan warna-warni cahaya. Peperangan yang tak henti-henti. Pertikaian dan pembunuhan selalu tumbuh di bumimu dan bumiku. Burung-burung lupa jalan pulang. Sarang-sarang mereka yang bertengger di reranting, rimbun dedaun dan di ketiak pohon telah hangus terbakar. Asap-asap menyesak dada. Mungkinkah ummat manusia kini lebih tertarik dengan logika perang dan pedang? Seolah peperangan adalah jalan menuju perdamaain. Betapa airmata dukaku jika ayat-ayat tuhan diperalat menumpuk mayat. Berapa kali kita kan melayat bersama lalat. Mungkinkah dunia sudah terhipnotis mantra Friedrick Wilhelm Nietzsche (1844-1900)? :

"Love dangerously…erect your cities beside Vesuvius. Sent out your ships to unexplored seas. Live in a state of war."

"Hiduplah menantang bahaya…bangun kota-kotamu di kaki Vesuvius. Kirim kapal-kapalmu ke lautan-lautan yang belum dijelajahi. Hiduplah dalam keadaan perang."

Kau perempuan dalam hujan. Aku sengaja menjebakmu dengan hujan. Hujan yang turun dari langit sajak-sajakku. Seperti biasanya kau keluar kamar menyambut hujanku dengan kerongkongan kemarau. Dan aku mengamati tubuhmu yang utuh dan basah dari simpang jalan. Sambil membawa pencil dan kertas, aku catat setiap gerak dan teriak serak merdumu. Sejak itulah aku jatuh cinta padamu. Kau jatuh cinta pada sajak-sajakku dan aku jatuh cinta pada gerak dan teriak serak merdumu. Gerak tubuhmu yang lincah dan deras bagai hujan itu sudah beberapa kali menetasakan sajak-sajak dari jemariku. Suara teriak serakmu mengoyak sepiku. Sepi yang pisau. Menusuk-nusuk daging adamku. Mengalir darah sederas hujan itu.

"cinta, peluk aku."

Kau ulangi lagi pintamu. Aku tidak memelukmu. Aku lebih baik memberi handuk kepadamu. Karena aku yakin kau masih ingin menikmati basah hujan yang melekat di tubuh dan rambutmu. Usaplah dulu tubuh dan rambutmu sayangku, bujukku. Dan sudah kuduga apa yang terjadi, kau menolak dan melempar handuk ke lantai, lalu menubruk tubuhku. Tubuh karang.

"aku suka tubuh karangmu."

Kau selalu mengulang kata-kata itu di depanku. Sungguh aku belum pernah menjumpai perempuan yang begitu jujur sepertimu. Kau selalu jujur dengan nafsumu. Kau selalu jujur dengan pujianmu. Aku suka tubuh karangmu. Rayumu itu membuat nafasku memeluk nafasamu. dan aku tak berhenti memelukmu sebelum kau meraung dan mengerang.

"tubuhku memang karang, sayang, namun di gelombang lautmu aku sering tumbang"

Hujan dan perempuan. Bukankah kedua jenis makhluk ini bisa menghidupkan dan mematikan? Aku selalu memandangmu sebagai hujan yang turun membasahai tanah-tanah retak dan sawah-sawah kering. Menumbuhkan tunas pohon yang meranggas. Menumbuhkan benih-benih kehidupan. Membangkitkan akar-akar pepohonan dari trauma panjang. Walau aku sadar sewaktu-waktu kau menjelma hujan bandang yang memporakporandakan rumah sembahyang, gedung-gedung dan ladang-ladang.

Kau hujan santunku itu, sayangku. Hadirmu kau persembahkan kepada akar-akar pepohonan yang terkapar, kembang yang hilang tembang, rerumput yang surut denyut, kerongkongan padi-padian dan umbi-umbian yang kerontang, suami istri yang berbagi punggung, dan aku yang murung.

Hujan semakin deras. Dedaun pohon kurma berisik diusik angin cerdik. Tubuh hujan yang terpelanting di atap genting menjadi bebunyian yang denting, namun aku berasa hening. Butir-butir air itu mengalir mencari lubang dan kubang. Wahai hujan, di sini, di negeri ini kau tak kan menjumpai yang kau mau. Cuma pasir dan debu sebagai muaramu berakhir. Seperti aku. iya seperti aku mencari dermaga bagi badai resahku malam ini. cinta dan rinduku ditentukan oleh kawat yang merambat di udara dan kabel yang bandel, yang suka membuat sebel. Dolar di sakuku selalu terkapar ketika aku merindu suaramu. Suara serak merdu itu. ah, cinta memang hanya serindang pohon, sisanya airmata yang memohon. Ah, cinta memang hanya semanis buah manggis, sisanya airmata yang menitis. Ah, cinta memang hanya sesuap nasi, sisanya lambung lumbung padi yang belum terisi. Ah, cinta memang sehelai puisi, sisanya pisau yang sepi. Ah, cinta memang sedesah birahi, sisanya resah yang berujung pada mati.

"apa yang akan kita lakukan jika ketemu?"
"diam batu? atau meredam nafsu?"
"bermain gitar? atau menusukkan puisi pisau di daging sepiku?"

Ha ha. tanyamu yang bertubi-tubi itu membuatku tertawa. sungguh aku belum tahu apa yang akan kuperbuat nanti. Akankah aku menjelma seekor singa yang lapar? Akankah aku menjelma pengungsi yang seminggu belum mencium bau beras setakar? Lebih baik aku merawat getar dan debar. Agar mekar mawar. Kelak, kita nikmati wangi, meski diri ditikam-tikam duri.


Perempuanku, aku berandai jika hujan malam ini adalah kau.



--------------------------


Khartoum, Sudan, 12 Februari 2010.