Selasa, 07 Juli 2009

Gazaku Menangis

Bulan ini bulan Januari. Bulannya jarang mandi. Perkiraan cuaca dari Badan Metereologi dan Geofisika Sudan menyatakan bahwa suhu udara Sudan bulan ini semakin melorot; dari 47 derajat celcius mendekati 17 derajat celcius. Tubuh tropis saya menggigil setiap disentuh angin dingin.

Rembulan merambati malam. Angin malam menerkam kesunyian. Dedaunan gaduh. Reranting tua rapuh jatuh menjemput takdir akhir, kematian. Kunang-kunang bermain kejar-kejaran dengan serpihan cahaya rembulan yang sembunyi di punggung dedaunan. Malu kepada kunang-kunang yang telah membuatnya jatuh cinta. Deg-degan jika berpandang mata. keringatan jika disapa. Gelingsatan ketika dipuja. Itulah mula cinta. (Hati-hati jangan sampai demam). Binatang malam melirihkan suara. Seperti bisik. Lama-lama beribu risik. Mengusik ketenangan bintang-gumintang. Bintang-gumintang yang bisa dihitung dengan jari tangan dan kaki. Cahaya kerlipnya menambah indah cahaya rembulan.

Malam ini aku ingin keluar malam. Aku ingin membeli odol dan sabun. Besok pagi aku ingin mandi. Sudah dua hari aku tidak mandi. Bukan karena takut air dingin dan malas mandi, tetapi karena persediaan odol dan sabunku habis. Hendak beli odol dan sabun baru, namun selembar dinar pun tak ada di lemari kamar, di dompet tua hanya ada foto keluarga dan kartu mahasiswa. Untung ada teman yang pulang dari haji plus. Aku dapat bonus surban dan selembar dinar: sepuluh pound Sudan.

Aku kenakan jaket tebal yang telah menua warnanya. Keluar dari kamar asrama. Berjalan menapaki setiap inci bumi. Wuss. Angin mendengus. Angin dingin mendekap tubuhku. Kuku-kuku runcing angin dingin mencakar-cakar tubuhku. Jaket tebal tak sanggup menahan koyakan runcing angin dingin. Darahku membeku. Aku menggigil. Tidak, aku tetap melangkah, aku ingin mandi esok pagi, gumamku penuh tenaga, sepenuh langit dan bumi.

Rembulan semakin menjalangi bentangan langit malam. Cahaya berenang di lauatan malam. Warna pekat hitam, bintang gumintang terdesak cahaya rembulan. Warna putih menguasai malam. Langit menyangga rembulan. Lampu-lampu jalan raya dan lampu berskala sepuluh watt dari pedagang kaki lima menambah semarak pagelaran rembulan. Seakan-akan telah janjian untuk membahagiakan malam. Di mana-mana pemandangan kampus selalu sama. Toko, warung internet, rumah makan, pedagang kaki lima. Semuanya itu menggambarkan sebuah jodoh yang tidak terpisahkan. Seperti air sungai Nil biru dan putih yang menyatu. Begitu juga di Sudan. Di depan kampus Intrernational University Of Afrika.

Saya menyebrang jalan diiringi senyum rembulan dan suara klakson mobil yang bersahut-sahutan tidak sabaran. Bau asap knalpot menohok hidung menyesak paru-paru. Setelah sampai menyebrang jalan. Aroma khas teh dan rasa sedap makanan dari rumah-rumah makan bertebaran. Menggugah syaraf-syaraf hidung untuk mengidentifikasi. Ayam panggang bakar, daging kambing sapi bakar, ikan nil goreng, basim , kaware, sawarma. Membuat lambung bergelombang lirih terdengar. Aku tidak boleh terbujuk rayuan aroma masakan itu. Aku sudah bersyukur bisa makan di Qoah Jamiah walau hanya dengan dua kepal nasi dan sepotong daging. Aku berhenti di supermarket: menggaet odol dan sabun.

Selepas dari supermarket, aku langsung nyelonong keluar dan berjalan. Tubuhku semakin menggigil. Jari-jemari tangan aku masukkan ke dalam saku jaket. Kepalaku menunduk. Tiba-tiba ujung sandalku menginjak seberkas koran bekas. Aku lekas memungutnya. Mataku memagut sebuah berita: berita luka: Gaza Menangis:

“…Israel mengerahkan ribuan tentaranya. Langit Gaza dikepung helikopter dan pesawat jet tempur. Tank-tank berlapis baja menghias jalan raya. Israel menggempur bumi Gaza. Pesawat jet tempur Israel berakrobat menembakkan roket-roket. Langit Gaza menggelegar bagai kilat halilintar. Tank-tank berlapis baja memuntahkan bola api ke bumi Gaza. Bumi Gaza hangus terbakar. Bumi Gaza bergetar. Berguncang. Mengguncangkan gedung-gedung, rumah penduduk, masjid dan mushola. Seisi bumi Gaza berhamburan. Berlarian menahan darah yang pecah dari tubuh. Ratusan hilang nyawa. Ribuan luka-luka. Serpihan paha dan kepala berserakan dimana-mana. Darah dan nanah menggenang di tanah berlubang. Hanya airmata dan raung ibu-ibu menggaung. Jerit histeris mengiris-ngiris ketenangan pemukiman pasir”

Sukmaku mengembara di Gaza: Aku melihat seraut wajah gadis manis cilik duduk di tengah puing-puing di bawah pergumulan api. Ia menangis meratapi ayah bundanya yang hangus dilahap bola api. Abi, ummi, ia memanggil-manngil ayah bundanya seraya menggoyang-goyang tubuh kedua jasad tak bernyawa itu. Kedua jasad itu tak menjawab. Ia masih menggoyang-goyang kedua tubuh lepuh itu. Ia memeluk kedua mayat itu dan menempelkan telinga di dada: tak ada detak jantung. Ia pun memekik tangis. Suara tangisnya mengalahkan dentuman ledakan senjata yang bengis. Pipiku telah basah. Kedua mataku mengalirkan airmata. Airmataku tak mampu kubendung. Dengan gemeter tubuh, aku hampiri gadis manis cilik itu. Ia sontak berhenti menangis dan curiga dengan kedatanganku. Aku berhenti sejenak dan mengamati lamat-lamat maklumat wajahnya; pipinya hijau daun, dagunya seruncing lembing, bibirnya merah kirmizi, matanya danau yang menyimpan kecipak ikan dan lembut ombak, bulumatanya yang hitam terbalik tajam bagai cadik: sebuah paras yang kontras dengan kerasnya perang, sebuah wajah keteduhan di tengah terik peperangan, seraut wajah lembut di persimpangan carut-marutnya maut bergelut. Seandainya aku Leonardo Da Vinci, akan aku kanfas wajahnya dalam kertas, dengan tinta darah dan airmata yang mancur dari sumur matatanya. Aku mengulurkan tangan dan berkata:

”jangan lagi menangis
aku takut airmatamu akan habis
jangan lagi menangis
apalagi airmatamu telah terkikis

jangan membuatku ikut menangis
kemarilah biar kuceritakan kisah tanah retak yang diguyur hujan
jangan membuatku ikut menangis
merebahlah agar kering luka, tertutup serabut benang pemakaman”

“sudah lama saya menderita, tak ada yang tersisa, kecuali airmata.
Tiada lagi pundak sandaran kecuali tangisan. Tiada lagi yang tersisa, kau lihat jari-jariku, layu kaku, diserap beban duka, kau lihat wajahku, seperti kembang hampir mati, kau lihat mataku, hanya airmata yang ada, kau lihat tubuhku, yang tak lagi utuh.

Kau ingin rasakan cucuran airmata, luka, duka yang saya punya? Jangan, aku takut engkau akan tenggelam dalam airmataku. Jangan, aku khawatir patahan reranting luka dukaku menghalangi peta jejakmu.

Aku menjadi saksi kebiadaban. Aku menjadi saksi pembantaian. Aku menjadi bukti ketidakberdayaan. Aku dibesarkan dengan dendam dan darah. Aku diasuh tangan keras senjata dan peluru. Entah berapa abad lagi aku tamatkan kebiadaban ini. Entah berapa senja lagi akan aku isyaratkan ketakutan dan kecemasan ini. Aku inginkan waktu berpintu dan berjendela. Biar kutinggalkan dan kutanggalkan kenangan hitam ini. Kenangan penuh debu dan mesiu.

sudah lama saya tak punya cinta, tak ada yang tersisa, kecuali benci. Kau ingin mengembalikan cintaku yang hilang? Jangan, nanti kau kehilangan cinta, karena saya diterpa kehausan akan cinta. Biarkan sawah ladangku tetap gersang, biarkan kemarau selalu meranjau. Aku sudah terbiasa kekeringan tanpa hujan. Aku sudah terbiasa meminum seduhan keringat hangat, yang keluar dari jari-jari tangan dan kaki. Aku sudah terbiasa memandang taman tanpa bunga, karena bunga itu duri. Dan duri sudah menjadi pakaianku sehari-hari. Aku takut kau tersusuk duriku dan berdarah. Aku hanya ingin kau menjadi bunga, yang menebarkan semerbak mewangi kepada bumi”.

Aku ingin mengambil durimu, untuk melindungi bungaku.
Aku ingin memberikan semerbak bungaku, untuk membasuh lukamu.

Lalu aku gamit tangannya. Aku balut tubuhnya dengan jaket tebalku. Aku masukkan ia ke dalam gua jiwaku. Aku ingin menjadi tameng hantaman peluru baginya. Cinta. Aku mencintainya. Di sinilah cintaku dicoba. Aku ingin berkorban apa saja demi cinta. Cinta adalah perjuangan. Cinta harus diperjuangkan. Cinta adalah pengorbanan. Gigil tubuhku lumayan mereda. Aku merasakan kehangatan airmata yang mengalir deras dari kedua matanya. Aku berjalan pelan-pelan dengan menyisihkan serakan tulang-belulang. Sementara suara gelegar halilintar dari jet-jet tempur serdadu Israel masih terdengar. Aku percepat langkah kaki menuju kamar. Sampai kamar, aku langsung merebahkan tubuh di kasur: aku ingin tidur. Gadis manis cilik itu tetap di gua jiwaku. Aku balut sekujur tubuhku dengan selimut. Kelopak mata yang mekar perlahan-lahan menguncup. Redup.

Betapa terkagetnya aku ketika bangun tidur pagi hari: gadis manis cilik itu tidak ada dalam gua jiwaku. Ia telah menghilang. Aku bergegas bangkit dari ranjang. Keluar kamar. Berlari mencari gadis manis cilik itu. Tak ada tapak jejak. Aku berlari di bawah cahaya matahari pagi yang menari-nari. Tiba-tiba sayup-sayup telingaku mendengar suara: suara gadis manis cilik itu: “Thank You. Make love. Make peace. Make poems not bombs”.

Gemuruh guruh suara gadis manis cilik itu menjelma sajak:

make love
make peace
make poems
not bombs

Aku jejakkan sajak itu di tapak bumi. Aku menginjak bumi bermandikan cahaya matahari.


Asrama asmara, Darus Salam, 06/01/09 12:15:12 malam.